Terdapat empat ayat dalam Al-Qur`an Al-Karim yang menetapkan bahwa seluruh asma` ‘nama-nama’ Allah ‘Azza Dzikruhu adalah maha husna. Berikut ayat-ayat tersebut.
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ
فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Hanya milik Allah-lah, Al-Asma` Al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut Al-Asma` Al-Husna)
itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap
segala sesuatu yang telah mereka kerjakan.” [Al-A’raf: 180]
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى ….
“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman dengan nama apa saja yang kamu seru, Dia mempunyai Al-Asma` Al-Husna,’ ….” [Al-lsra`: 110]
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى.
“(Dialah) Allah, Tiada sembahan (yang hak), kecuali Dia. Dia mempunyai Al-Asma` Al-Husna.” [Thaha: 8]
هُوَ
اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ.
“Dia-lah (Allah) Al-Khaliq ‘Yang Maha Menciptakan’, Al-Bari` ‘Yang Maha Mengadakan’, Al-Mushawwir ‘Yang Maha Membentuk Rupa’. Dia mempunyai Al-Asma` Al-Husna ‘nama-nama yang paling baik’. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dia-lah Al-‘Aziz ‘Yang Maha Perkasa’ lagi Al-Hakim ‘Maha Bijaksana’.” [Al-Hasyr: 24]
Dalam mencermati ayat-ayat di atas, akan terpetik, sejumlah kaidah penting yang merupakan dasar pijakan dalam penetapan Al-Asma` Al-Husna.
Dalam menguraikan kaidah-kaidah tersebut, kita mungkin bisa menjabarkan kandungan global dari empat ayat di atas:
Kandungan pertama: menunjukkan bahwa Al-Asma` Al-Husna itu semata hanyalah milik Allah Jalla Sya’nuhu.
Kandungan kedua: menegaskan bahwa nama-nama Allah adalah maha husna, yang paling baik, pada puncak yang terbaik atau tiada lagi yang lebih baik daripadanya.
Kandungan Pertama
Darikandungan pertama, tersimpul beberapa kaidah dasar yang penting untuk diingat:
Kaidah Pertama: Penetapan Al-Asma` Al-Husna adalah Tauqifiyyah ‘Terbatas pada Dalil dari Al-Qur`an’
Karena Al-Asma` Al-Husna hanyalah milik Allah ‘Azza wa Jalla, penetapan sebuah nama untuk Allah harus datang dari sisi Allah ‘Azza Dzikruhu. Tiada
jalan dalam menetapkan suatu nama untuk Allah, kecuali dari Al-Qur`an
yang berasal dari sisi-Nya atau dari hadits Rasulullah, yang merupakan
penyampai dari sisi Allah.
Ini
adalah etika yang harus dijunjung tinggi oleh setiap muslim dan
muslimah. Janganlah menamakan Allah dengan nama-nama yang tidak
bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.
“Dan janganlah
engkau mengikuti apa-apa yang engkau tidak ketahui. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai
pertanggungjawaban.” [Al-lsra`: 36]
Kaidah Kedua: Seluruh Nama-Nama Allah adalah Khusus untuk Allah Sesuai dengan Kemuliaan dan Kebesaran-Nya
Tatkala ditetapkan, dalam empat ayat yang telah berlalu, bahwa Al-Asma` Al-Husna itu semata milik Allah Jalla Sya’nuhu, penyandaran Al-Asma` Al-Husna
itu adalah khusus untuk Allah sesuai dengan kemuliaan dan
kebesaran-Nya, yang tiada sekutu bagi Allah dalam nama-nama itu, tidak
pula ada yang serupa dan setara dengan-Nya.
Kalaupun
sebagian penamaan itu dinamakan kepada makhluk, penyandaran nama itu
kepada makhluk adalah sesuai dengan kelemahan dan kekurangan makhluk
tersebut.
Sebagai contoh, Allah menamakan diri-Nya dengan nama Al-Hayy ‘Yang Maha Hidup’ dalam firman-Nya,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ.
“(Dialah) Allah. Tiada sembahan (yang hak), kecuali Dia, Al-Hayy ‘Yang Maha Hidup Kekal’ lagi Al-Qayyum ‘Maha Terus Menerus Mengurus Makhluk-Nya’.” [Al-Baqarah: 255, Ali ‘Imran: 2]
Namun, Allah menyebut sebagian makhluk dengan nama itu pula dalam firman-Nya,
يُخْرِجُ
الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِ
الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَذَلِكَ تُخْرَجُونَ.
“Dia mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup,
serta menghidupkan bumi sesudah kematian (bumi) tersebut. Dan seperti
itulah kalian akan dikeluarkan (dari kubur).” [Ar-Rum: 19]
Oleh karena itu, penyandaran nama Al-Hayy
kepada Allah adalah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya, Dia-lah
Yang Maha Hidup dengan kehidupan yang maha sempurna tanpa didahului oleh
ketiadaan, tidak disertai oleh kesirnaan, dan tidak diselingi oleh
kekurangan apapun. Adapun penyandaran nama itu kepada makhluk, itu
adalah kehidupan yang sementara sesuai dengan kelemahan dan kekurangan
makhluk tersebut.
Contoh lain, Allah menamakan diri-Nya dengan nama Al-‘Alim ‘Yang Maha Mengetahui’ dalam banyak ayat Al-Qur`an, seperti dalam firman-Nya,
قَالَ رَبِّي يَعْلَمُ الْقَوْلَ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Berkatalah (Muhammad kepada mereka), ‘Rabb-ku mengetahui semua perkataan di langit dan di bumi, dan Dialah As-Sami’ ‘Yang Maha Mendengar’ lagi Al-‘Alim ‘Maha Mengetahui’.’.” [Al-Anbiya`: 4]
Akan tetapi, Allah menyebut sebagian makhluk dengan nama itu pula dalam firman-Nya,
فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ.
“Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq).” [Adz-Dzariyat: 28]
Tentunya, kesamaan kata alim dalam dua ayat di atas takkan menunjukkan kesamaan saat penyandaran. Penyandaran nama Al-‘Alim ‘Yang
Maha Mengetahui’ kepada Allah adalah sesuai dengan kebesaran dan
kemulian Allah. Adapun penyandaran nama tersebut kepada makhluk, hal itu
sesuai dengan keterbatasan ilmu yang Allah berikan kepada makhluk itu.
Contoh-contoh
seperti di atas sangatlah banyak dalam nash Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keagungan kaidah ini. Perlu diketahui pula bahwa sejumlah
kelompok terjatuh ke dalam kesalahan dan kesesatan dalam bab Al-Asma` Al-Husnadikarenakan jauhnya mereka dalam memahami kaidah ini. Wallahul Musta’an.
Kandungan Kedua
Dari kandungan kedua, juga terpetik sejumlah kaidah penting:
Kaidah Pertama: Seluruh Nama Allah Adalah Maha Terbaik, Tiada Yang Lebih Sempurna Daripadanya
Kaidah ini terpetik dari penyifatan nama-nama Allah -dalam empat ayat yang telah berlalu- dengan sifat Al-Husna. Dalam bahasa Arab, kata Al-Husna adalah ism tafdhil yang menunjukkan makna lebih atau paling. Sehingga, dalam ayat-ayat tersebut, Al-Asma` Al-Husna bisa diartikan sebagai nama-nama maha husna, yang paling baik, pada puncak yang terbaik atau tiada lagi yang lebih baik daripadanya.
Dari kaidah di atas, terdapat sejumlah hukum yang harus diperhatikan dalam memahami Al-Asma` Al-Husna:
Pertama: penetapan sebuah nama untuk Allah harus terbatas pada konteks nama yang disebutkan oleh dalil dari Al-Qur`an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Kita tidak diperbolehkan untuk mengubah penamaan menjadi susunan kalimat lain, seperti mengubah nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim menjadi Ar-Rahham. Walaupun terhitung sebagai shighah mubalaghah menurut tata bahasa Arab sebagaimana halnya kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim, kata Ar-Rahham tidak bisa mewakili nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang termasuk sebagai Al-Asma` Al-Husna yang keindahan lafazh dan maknanya terbaik.
Kedua:
ada sejumlah nama yang berasal dari mashdar (kata dasar) yang sama.
Namun, nama-nama tersebut seluruhnya harus ditetapkan sebagaimana Allah
dan Rasul-Nya menetapkan. Hal ini karena Allah telah mengabarkan bahwa
seluruh nama-Nya adalah maha husna maka nama-nama tersebut, walaupun berasal dari satu mashdar, berada pada puncak keindahan dan kesempurnaan, seperti nama Al-Qadir, Al-Qadir, dan Al-Muqtadir ‘Yang Maha Mampu’ berasal dari mashdar Al-Qudrah ‘kemampuan’, atau seperti nama Al-‘Aliyy, Al-A’la, dan Al-Muta’al ‘Yang Maha Tinggi’ berasal dari mashdar Al-‘Uluw ‘ketinggian’.
Ketiga: makna Al-Husna menunjukkan
kesempurnaan dalam hal nama-nama Allah sehingga kita tidak boleh
menetapkan nama-nama yang mencerminkan kekurangan dan kelemahan, seperti
nama yang fakir, yang lemah, yang berkhianat, dan semisalnya.
Kempat: demikian pula, kita tidak bolehmenetapkan nama untuk Allah yang bermakna kemungkinan baik dan kemungkinan tidak baik, seperti nama yang berkehendak, yang berbuat, dan semisalnya karena kehendak dan perbuatan mungkin baik, tetapi mungkin pula tidak baik.
Kelima: tidak boleh pula memberi penamaan yang terpuji pada suatu keadaan, tetapi tercela pada keadaan lain, seperti nama yang bermakar, yang mengolok-olok, dan semisalnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ.
“(Orang-orang kafir) itu membuat makar, tetapi Allah membalas makar mereka itu. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas makar.” [Ali ‘Imran: 54]
وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى
شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ.
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ.
“Dan
bila berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami
telah beriman.’ Namun, bila kembali kepada syaithan-syaithan mereka,
mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian. Kami
hanyalah berolok-olok.’ Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan
membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” [Al-Baqarah: 14-15]
Dalam
dua ayat di atas, terdapat penyebutan bahwa Allah membalas makar dan
olok-olokan mereka. Hal tersebut terpuji dari sisi ini, yang menunjukkan
kesempurnaan dan keagungan Allah yang tidak dilemahkan oleh suatu
apapun di langit dan di bumi, dan membalas perbuatan manusia sesuai
dengan amalan mereka. Namun, kita tidak boleh menamakan Allah dengan
nama yang bermakar atau yang membalas olok-olokan.
Keenam: keindahan dan kesempurnaan nama-nama Allah mencakup tiga keadaan:
- Kesempurnaan nama-nama itu bila disebutkan secara bersendirian, seperti kebanyakan nama-nama Allah: Al-‘Alim ‘Maha Mengetahui’, At-Tawwab ‘Maha Menerima Taubat’, Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan seterusnya.
- Kesempurnaan dan keindahan nama-nama tersebut bila penyebutannya digabungkan dengan nama lain sehingga bertambahlah keindahan dan kesempurnaan nama-nama tersebut, seperti nama Ar-Rahman Ar-Rahim, At-Tawwab Ar-Rahim, Al-Barr Al-Rahim, dan selainnya berupa nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah.
- Penyebutan sebagian nama hanya disebutkan oleh nash dalam keadaan bergandengan saja, tidak disebutkan secara terpisah, seperti nama Al-Qabidh Al-Basith, Al-Muqaddim Al-Mu’akhkhir, dan selainnya. Oleh karena itu, di antara keindahan dan kesempurnaannya, nama-nama tersebut tidak boleh dipisah dari pasangannya agar tiada kesan kurang dalam nama-nama Allah ‘Azza Dzikruhu.
Kaidah Kedua: Nama-Nama Allah Adalah Penamaan dan Penyifatan
Di
antara kesempurnaan nama-nama Allah adalah bahwa nama-nama itu bukanlah
penamaan belaka sebagaimana penamaan pada makhluk, melainkan bahwa
penamaan Allah juga menunjukkan sifat yang terkandung pada
nama-nama-Nya. Adapun makhluk, kadang ada yang bernama Shalih (yang
shalih/baik), tetapi ia tidak shalih, bernama Muhammad (yang terpuji),
tetapi ia tidak memiliki sifat-sifat yang terpuji, atau bernama yang
lain.
Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
“Dan Dia-lah Al-Ghafur ‘Yang Maha Pengampun’ lagi Ar-Rahim ‘Yang Maha Merahmati’.” [Al-Ahqaf: 8]
Dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa nama Ar-Rahim mengandung sifat rahmat,
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ ….
“Dan Rabb-mulah Al-Ghafur ‘Yang Maha Pengampun’ lagi mempunyai rahmat ….” [Al-Kahf: 58]
Oleh karena itu, nama Ar-Rahman, Al-‘Alim, Al-Ghafur, dan seterusnya, di satu sisi adalah sejumlah penamaan untuk Allah Subhanahu wa Ta`ala
Yang Maha Satu, tetapi di sisi lain adalah penamaan yang mengandung
penyifatan berbeda sesuai dengan kandungan nama tersebut. Nama Ar-Rahman menunjukkan bahwa Allah bersifat merahmati, nama Al-‘Alim menunjukkan sifat ilmu, nama Al-Ghafur menunjukkan sifat pengampunan, dan seterusnya.
Kaidah Ketiga: Nama-Nama Allah yang Berasal dari Kata yang Berbentuk Muta’addi ‘Memerlukan Objek’ Mengandung Tiga Perkara:
- Tetapnya nama itu untuk Allah.
- Tetapnya sifat yang terkandung dalam nama tersebut.
- Tetapnya hukum dan konsekuensi dari namatersebut.
Contoh: Nama As-Sami’
‘Yang Maha Mendengar’. Adanya nash-nash dalam Al-Qur`an dan Sunnah yang
menyebutkan nama ini menunjukkan kewajiban kita untuk mengimani tiga
perkara:
- Penetapan nama As-Sami’ untuk Allah.
- Penetapan sifat mendengar untuk Allah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya.
- Penetapan hukum dan konsekuensi nama itu, yaitu Allah Maha Mendengar segala suara dan bisikan, baik yang dikeraskan maupun yang disembunyikan.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman,
قَدْ
سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي
إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
بَصِيرٌ.
“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan
kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (perkaranya) kepada Allah. Dan
Allah mendengar soal-jawab antara kalian berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Al-Mujadilah: 1]
Bila berasal dari kata yang tidak berbentuk muta’addi, nama-nama Allah tersebut mengandung dua perkara:
- Tetapnya nama itu untuk Allah.
- Tetapnya sifat yang terkandung dalam nama tersebut.
Contoh: nama Al-Hayy ‘Yang
Maha Hidup’. Adanya nash-nash dalam Al-Qur`an dan Sunnah yang
menyebutkan nama ini menunjukkan kewajiban untuk kita mengimani dua
perkara:
- Penetapan nama Al-Hayy untuk Allah.
- Penetapan sifat kehidupan untuk Allah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya.
Uraian
kaidah di atas akan semakin mempertajam pemahaman seorang mukmin
perihal keindahan dan kesempurnaan nama-nama Allah yang maha husna.
Kaidah
ini juga akan memberi cahaya ke dalam hati seorang mukmin tatkala ia
membaca dan mencermati ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyebutkan
nama-nama Allah sekaligus menghayati makna dan hikmah penyebutan
nama-nama pada nash-nash tersebut.
Sebagai
contoh, para ulama menyimpulkan tentang gugurnya hukum had terhadap
pelaku kerusakan di muka bumi -kecuali kerusakan berupa hak-hak yang
berkaitan dengan makhluk-, yang bertaubat sebelum had ditegakkan
terhadapnya. Hal tersebut mereka pahami dari firman Allah,
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Kecuali
orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kalian dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ma`idah: 34]
Penyebutan dua nama Allah pada akhir ayat menunjukkan gugurnya hukum tersebut dari pelaku yang telah bertaubat.
Kaidah Keempat: Nama-Nama Allah Tidaklah Terbatas dengan Jumlah Tertentu
Pada empat ayat yang disebutkan pada awal pembahasan, penyebutan bahwa hanya milik Allah Al-Asma` Al-Husna
adalah pernyataan yang mutlak dan tidak membatasi jumlah nama-nama
Allah. Tentunya hal ini lebih menunjukkan keindahan dan keagungan
nama-nama Allah ‘Azza Dzikruhu.
Tidak terbatasnya nama-nama Allah dengan jumlah tertentu juga ditunjukkan oleh sejumlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah doa yang beliau contohkan untuk dibaca pada shalat malam,
اللَّهُمَّ
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا
أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya
Allah, saya berlindung dengan keridhaan-Mu terhadap kemurkaan-Mu,
dengan afiyat-Mu terhadap siksaan-Mu, dan saya dengan-Mu dari-Mu. Saya
tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu. Sesungguhnya engkau sebagaimana
pujian-Mu kepada diri-Mu.” [1]
Selain itu, dalam hadits yang panjang tentang kisah syafa’at pada hari kiamat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
ثُمَّ يَفْتَحُ اللهُ عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِي
“Kemudian
Allah membukakan pujian-pujian dan keindahan sanjungan kepada-Nya
untukku, suatu hal yang belum pernah dibukakan untuk seorang pun
sebelumku.” [2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Tiada seorang pun yang ditimpa oleh gundah gulana tidak pula oleh kesedihan, kemudian membaca,
اللَّهُمَّ
إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ
مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ
هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ
أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ
الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ
صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي
‘Ya
Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, dan anak dari
hamba perempuan-Mu. Ubun-ubun-ku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku
terhadapku. Ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Saya bermohon kepadamu
dengan seluruh nama yang merupakan milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu
dengannya, Engkau ajarkan kepada seorang makhluk-Mu, Engkau turunkan
dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.
Jadikanlah Al-Qur`an sebagai penyejuk hatiku, penerang dadaku, pencerah
kesedihanku, dan penghilang gundah gulanaku,’
kecuali
niscaya Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihannya serta
mengganti hal itu dengan kegembiraan pada tempatnya.” [3]
Seluruh dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa pujian dan sanjungan -termasuk Al-Asma’ Al-Husna-untuk Allah tidaklah terbatas.
Adapun hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya
Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu.
Barangsiapa yang menghitung (nama-nama) tersebut, ia akan dimasukkan ke
dalam surga,”
bukanlah pembatasan bahwa nama-nama Allah hanya berjumlan sembilan puluh sembilan nama, melainkan sekadar pengabaran bahwa siapa saja yang menghitung, menghafal, dan memahami sembilan puluh sembilan nama Allah tersebut dijanjikan pahala berupa surga. Andaikata ada orang yang berkata, “Saya memiliki sembilan puluh sembilan permata,” bukan berarti orang tersebut tidak memiliki permata-permata lain selain sembilan puluh sembilan itu. Demikian pula makna hadits di atas.
Insya Allah, dalam uraian Al-Asma` Al-Husna yang akan datang, akan disebutkan lebih dari sembilan puluh sembilan nama yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa
memberi tambahan ilmu dan amal shalih kepada kita semua serta
menganugerahkan sikap istiqamah di atas ibadah dan pemurnian penghambaan
kepada-Nya. Wallahu Waliyyut Taufiq.
Beberapa Kaidah dalam Mengenal Al-Asma` Al-Husna
Terdapat empat ayat dalam Al-Qur`an Al-Karim yang menetapkan bahwa seluruh asma` ‘nama-nama’ Allah ‘Azza Dzikruhu adalah maha husna. Berikut ayat-ayat tersebut.
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ
فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Hanya milik Allah-lah, Al-Asma` Al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut Al-Asma` Al-Husna)
itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap
segala sesuatu yang telah mereka kerjakan.” [Al-A’raf: 180]
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى ….
“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman dengan nama apa saja yang kamu seru, Dia mempunyai Al-Asma` Al-Husna,’ ….” [Al-lsra`: 110]
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى.
“(Dialah) Allah, Tiada sembahan (yang hak), kecuali Dia. Dia mempunyai Al-Asma` Al-Husna.” [Thaha: 8]
هُوَ
اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ.
“Dia-lah (Allah) Al-Khaliq ‘Yang Maha Menciptakan’, Al-Bari` ‘Yang Maha Mengadakan’, Al-Mushawwir ‘Yang Maha Membentuk Rupa’. Dia mempunyai Al-Asma` Al-Husna ‘nama-nama yang paling baik’. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dia-lah Al-‘Aziz ‘Yang Maha Perkasa’ lagi Al-Hakim ‘Maha Bijaksana’.” [Al-Hasyr: 24]
Dalam mencermati ayat-ayat di atas, akan terpetik, sejumlah kaidah penting yang merupakan dasar pijakan dalam penetapan Al-Asma` Al-Husna.
Dalam menguraikan kaidah-kaidah tersebut, kita mungkin bisa menjabarkan kandungan global dari empat ayat di atas:
Kandungan pertama: menunjukkan bahwa Al-Asma` Al-Husna itu semata hanyalah milik Allah Jalla Sya’nuhu.
Kandungan kedua: menegaskan bahwa nama-nama Allah adalah maha husna, yang paling baik, pada puncak yang terbaik atau tiada lagi yang lebih baik daripadanya.
Kandungan Pertama
Darikandungan pertama, tersimpul beberapa kaidah dasar yang penting untuk diingat:
Kaidah Pertama: Penetapan Al-Asma` Al-Husna adalah Tauqifiyyah ‘Terbatas pada Dalil dari Al-Qur`an’
Karena Al-Asma` Al-Husna hanyalah milik Allah ‘Azza wa Jalla, penetapan sebuah nama untuk Allah harus datang dari sisi Allah ‘Azza Dzikruhu. Tiada
jalan dalam menetapkan suatu nama untuk Allah, kecuali dari Al-Qur`an
yang berasal dari sisi-Nya atau dari hadits Rasulullah, yang merupakan
penyampai dari sisi Allah.
Ini
adalah etika yang harus dijunjung tinggi oleh setiap muslim dan
muslimah. Janganlah menamakan Allah dengan nama-nama yang tidak
bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.
“Dan janganlah
engkau mengikuti apa-apa yang engkau tidak ketahui. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai
pertanggungjawaban.” [Al-lsra`: 36]
Kaidah Kedua: Seluruh Nama-Nama Allah adalah Khusus untuk Allah Sesuai dengan Kemuliaan dan Kebesaran-Nya
Tatkala ditetapkan, dalam empat ayat yang telah berlalu, bahwa Al-Asma` Al-Husna itu semata milik Allah Jalla Sya’nuhu, penyandaran Al-Asma` Al-Husna
itu adalah khusus untuk Allah sesuai dengan kemuliaan dan
kebesaran-Nya, yang tiada sekutu bagi Allah dalam nama-nama itu, tidak
pula ada yang serupa dan setara dengan-Nya.
Kalaupun
sebagian penamaan itu dinamakan kepada makhluk, penyandaran nama itu
kepada makhluk adalah sesuai dengan kelemahan dan kekurangan makhluk
tersebut.
Sebagai contoh, Allah menamakan diri-Nya dengan nama Al-Hayy ‘Yang Maha Hidup’ dalam firman-Nya,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ.
“(Dialah) Allah. Tiada sembahan (yang hak), kecuali Dia, Al-Hayy ‘Yang Maha Hidup Kekal’ lagi Al-Qayyum ‘Maha Terus Menerus Mengurus Makhluk-Nya’.” [Al-Baqarah: 255, Ali ‘Imran: 2]
Namun, Allah menyebut sebagian makhluk dengan nama itu pula dalam firman-Nya,
يُخْرِجُ
الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِ
الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَذَلِكَ تُخْرَجُونَ.
“Dia mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup,
serta menghidupkan bumi sesudah kematian (bumi) tersebut. Dan seperti
itulah kalian akan dikeluarkan (dari kubur).” [Ar-Rum: 19]
Oleh karena itu, penyandaran nama Al-Hayy
kepada Allah adalah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya, Dia-lah
Yang Maha Hidup dengan kehidupan yang maha sempurna tanpa didahului oleh
ketiadaan, tidak disertai oleh kesirnaan, dan tidak diselingi oleh
kekurangan apapun. Adapun penyandaran nama itu kepada makhluk, itu
adalah kehidupan yang sementara sesuai dengan kelemahan dan kekurangan
makhluk tersebut.
Contoh lain, Allah menamakan diri-Nya dengan nama Al-‘Alim ‘Yang Maha Mengetahui’ dalam banyak ayat Al-Qur`an, seperti dalam firman-Nya,
قَالَ رَبِّي يَعْلَمُ الْقَوْلَ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Berkatalah (Muhammad kepada mereka), ‘Rabb-ku mengetahui semua perkataan di langit dan di bumi, dan Dialah As-Sami’ ‘Yang Maha Mendengar’ lagi Al-‘Alim ‘Maha Mengetahui’.’.” [Al-Anbiya`: 4]
Akan tetapi, Allah menyebut sebagian makhluk dengan nama itu pula dalam firman-Nya,
فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ.
“Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq).” [Adz-Dzariyat: 28]
Tentunya, kesamaan kata alim dalam dua ayat di atas takkan menunjukkan kesamaan saat penyandaran. Penyandaran nama Al-‘Alim ‘Yang
Maha Mengetahui’ kepada Allah adalah sesuai dengan kebesaran dan
kemulian Allah. Adapun penyandaran nama tersebut kepada makhluk, hal itu
sesuai dengan keterbatasan ilmu yang Allah berikan kepada makhluk itu.
Contoh-contoh
seperti di atas sangatlah banyak dalam nash Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keagungan kaidah ini. Perlu diketahui pula bahwa sejumlah
kelompok terjatuh ke dalam kesalahan dan kesesatan dalam bab Al-Asma` Al-Husnadikarenakan jauhnya mereka dalam memahami kaidah ini. Wallahul Musta’an.
Kandungan Kedua
Dari kandungan kedua, juga terpetik sejumlah kaidah penting:
Kaidah Pertama: Seluruh Nama Allah Adalah Maha Terbaik, Tiada Yang Lebih Sempurna Daripadanya
Kaidah ini terpetik dari penyifatan nama-nama Allah -dalam empat ayat yang telah berlalu- dengan sifat Al-Husna. Dalam bahasa Arab, kata Al-Husna adalah ism tafdhil yang menunjukkan makna lebih atau paling. Sehingga, dalam ayat-ayat tersebut, Al-Asma` Al-Husna bisa diartikan sebagai nama-nama maha husna, yang paling baik, pada puncak yang terbaik atau tiada lagi yang lebih baik daripadanya.
Dari kaidah di atas, terdapat sejumlah hukum yang harus diperhatikan dalam memahami Al-Asma` Al-Husna:
Pertama: penetapan sebuah nama untuk Allah harus terbatas pada konteks nama yang disebutkan oleh dalil dari Al-Qur`an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Kita tidak diperbolehkan untuk mengubah penamaan menjadi susunan kalimat lain, seperti mengubah nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim menjadi Ar-Rahham. Walaupun terhitung sebagai shighah mubalaghah menurut tata bahasa Arab sebagaimana halnya kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim, kata Ar-Rahham tidak bisa mewakili nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang termasuk sebagai Al-Asma` Al-Husna yang keindahan lafazh dan maknanya terbaik.
Kedua:
ada sejumlah nama yang berasal dari mashdar (kata dasar) yang sama.
Namun, nama-nama tersebut seluruhnya harus ditetapkan sebagaimana Allah
dan Rasul-Nya menetapkan. Hal ini karena Allah telah mengabarkan bahwa
seluruh nama-Nya adalah maha husna maka nama-nama tersebut, walaupun berasal dari satu mashdar, berada pada puncak keindahan dan kesempurnaan, seperti nama Al-Qadir, Al-Qadir, dan Al-Muqtadir ‘Yang Maha Mampu’ berasal dari mashdar Al-Qudrah ‘kemampuan’, atau seperti nama Al-‘Aliyy, Al-A’la, dan Al-Muta’al ‘Yang Maha Tinggi’ berasal dari mashdar Al-‘Uluw ‘ketinggian’.
Ketiga: makna Al-Husna menunjukkan
kesempurnaan dalam hal nama-nama Allah sehingga kita tidak boleh
menetapkan nama-nama yang mencerminkan kekurangan dan kelemahan, seperti
nama yang fakir, yang lemah, yang berkhianat, dan semisalnya.
Kempat: demikian pula, kita tidak bolehmenetapkan nama untuk Allah yang bermakna kemungkinan baik dan kemungkinan tidak baik, seperti nama yang berkehendak, yang berbuat, dan semisalnya karena kehendak dan perbuatan mungkin baik, tetapi mungkin pula tidak baik.
Kelima: tidak boleh pula memberi penamaan yang terpuji pada suatu keadaan, tetapi tercela pada keadaan lain, seperti nama yang bermakar, yang mengolok-olok, dan semisalnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ.
“(Orang-orang kafir) itu membuat makar, tetapi Allah membalas makar mereka itu. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas makar.” [Ali ‘Imran: 54]
وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى
شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ.
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ.
“Dan
bila berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami
telah beriman.’ Namun, bila kembali kepada syaithan-syaithan mereka,
mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian. Kami
hanyalah berolok-olok.’ Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan
membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” [Al-Baqarah: 14-15]
Dalam
dua ayat di atas, terdapat penyebutan bahwa Allah membalas makar dan
olok-olokan mereka. Hal tersebut terpuji dari sisi ini, yang menunjukkan
kesempurnaan dan keagungan Allah yang tidak dilemahkan oleh suatu
apapun di langit dan di bumi, dan membalas perbuatan manusia sesuai
dengan amalan mereka. Namun, kita tidak boleh menamakan Allah dengan
nama yang bermakar atau yang membalas olok-olokan.
Keenam: keindahan dan kesempurnaan nama-nama Allah mencakup tiga keadaan:
- Kesempurnaan nama-nama itu bila disebutkan secara bersendirian, seperti kebanyakan nama-nama Allah: Al-‘Alim ‘Maha Mengetahui’, At-Tawwab ‘Maha Menerima Taubat’, Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan seterusnya.
- Kesempurnaan dan keindahan nama-nama tersebut bila penyebutannya digabungkan dengan nama lain sehingga bertambahlah keindahan dan kesempurnaan nama-nama tersebut, seperti nama Ar-Rahman Ar-Rahim, At-Tawwab Ar-Rahim, Al-Barr Al-Rahim, dan selainnya berupa nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah.
- Penyebutan sebagian nama hanya disebutkan oleh nash dalam keadaan bergandengan saja, tidak disebutkan secara terpisah, seperti nama Al-Qabidh Al-Basith, Al-Muqaddim Al-Mu’akhkhir, dan selainnya. Oleh karena itu, di antara keindahan dan kesempurnaannya, nama-nama tersebut tidak boleh dipisah dari pasangannya agar tiada kesan kurang dalam nama-nama Allah ‘Azza Dzikruhu.
Kaidah Kedua: Nama-Nama Allah Adalah Penamaan dan Penyifatan
Di
antara kesempurnaan nama-nama Allah adalah bahwa nama-nama itu bukanlah
penamaan belaka sebagaimana penamaan pada makhluk, melainkan bahwa
penamaan Allah juga menunjukkan sifat yang terkandung pada
nama-nama-Nya. Adapun makhluk, kadang ada yang bernama Shalih (yang
shalih/baik), tetapi ia tidak shalih, bernama Muhammad (yang terpuji),
tetapi ia tidak memiliki sifat-sifat yang terpuji, atau bernama yang
lain.
Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
“Dan Dia-lah Al-Ghafur ‘Yang Maha Pengampun’ lagi Ar-Rahim ‘Yang Maha Merahmati’.” [Al-Ahqaf: 8]
Dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa nama Ar-Rahim mengandung sifat rahmat,
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ ….
“Dan Rabb-mulah Al-Ghafur ‘Yang Maha Pengampun’ lagi mempunyai rahmat ….” [Al-Kahf: 58]
Oleh karena itu, nama Ar-Rahman, Al-‘Alim, Al-Ghafur, dan seterusnya, di satu sisi adalah sejumlah penamaan untuk Allah Subhanahu wa Ta`ala
Yang Maha Satu, tetapi di sisi lain adalah penamaan yang mengandung
penyifatan berbeda sesuai dengan kandungan nama tersebut. Nama Ar-Rahman menunjukkan bahwa Allah bersifat merahmati, nama Al-‘Alim menunjukkan sifat ilmu, nama Al-Ghafur menunjukkan sifat pengampunan, dan seterusnya.
Kaidah Ketiga: Nama-Nama Allah yang Berasal dari Kata yang Berbentuk Muta’addi ‘Memerlukan Objek’ Mengandung Tiga Perkara:
- Tetapnya nama itu untuk Allah.
- Tetapnya sifat yang terkandung dalam nama tersebut.
- Tetapnya hukum dan konsekuensi dari namatersebut.
Contoh: Nama As-Sami’
‘Yang Maha Mendengar’. Adanya nash-nash dalam Al-Qur`an dan Sunnah yang
menyebutkan nama ini menunjukkan kewajiban kita untuk mengimani tiga
perkara:
- Penetapan nama As-Sami’ untuk Allah.
- Penetapan sifat mendengar untuk Allah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya.
- Penetapan hukum dan konsekuensi nama itu, yaitu Allah Maha Mendengar segala suara dan bisikan, baik yang dikeraskan maupun yang disembunyikan.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman,
قَدْ
سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي
إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
بَصِيرٌ.
“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan
kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (perkaranya) kepada Allah. Dan
Allah mendengar soal-jawab antara kalian berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Al-Mujadilah: 1]
Bila berasal dari kata yang tidak berbentuk muta’addi, nama-nama Allah tersebut mengandung dua perkara:
- Tetapnya nama itu untuk Allah.
- Tetapnya sifat yang terkandung dalam nama tersebut.
Contoh: nama Al-Hayy ‘Yang
Maha Hidup’. Adanya nash-nash dalam Al-Qur`an dan Sunnah yang
menyebutkan nama ini menunjukkan kewajiban untuk kita mengimani dua
perkara:
- Penetapan nama Al-Hayy untuk Allah.
- Penetapan sifat kehidupan untuk Allah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya.
Uraian
kaidah di atas akan semakin mempertajam pemahaman seorang mukmin
perihal keindahan dan kesempurnaan nama-nama Allah yang maha husna.
Kaidah
ini juga akan memberi cahaya ke dalam hati seorang mukmin tatkala ia
membaca dan mencermati ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyebutkan
nama-nama Allah sekaligus menghayati makna dan hikmah penyebutan
nama-nama pada nash-nash tersebut.
Sebagai
contoh, para ulama menyimpulkan tentang gugurnya hukum had terhadap
pelaku kerusakan di muka bumi -kecuali kerusakan berupa hak-hak yang
berkaitan dengan makhluk-, yang bertaubat sebelum had ditegakkan
terhadapnya. Hal tersebut mereka pahami dari firman Allah,
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Kecuali
orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kalian dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ma`idah: 34]
Penyebutan dua nama Allah pada akhir ayat menunjukkan gugurnya hukum tersebut dari pelaku yang telah bertaubat.
Kaidah Keempat: Nama-Nama Allah Tidaklah Terbatas dengan Jumlah Tertentu
Pada empat ayat yang disebutkan pada awal pembahasan, penyebutan bahwa hanya milik Allah Al-Asma` Al-Husna
adalah pernyataan yang mutlak dan tidak membatasi jumlah nama-nama
Allah. Tentunya hal ini lebih menunjukkan keindahan dan keagungan
nama-nama Allah ‘Azza Dzikruhu.
Tidak terbatasnya nama-nama Allah dengan jumlah tertentu juga ditunjukkan oleh sejumlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah doa yang beliau contohkan untuk dibaca pada shalat malam,
اللَّهُمَّ
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا
أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya
Allah, saya berlindung dengan keridhaan-Mu terhadap kemurkaan-Mu,
dengan afiyat-Mu terhadap siksaan-Mu, dan saya dengan-Mu dari-Mu. Saya
tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu. Sesungguhnya engkau sebagaimana
pujian-Mu kepada diri-Mu.” [1]
Selain itu, dalam hadits yang panjang tentang kisah syafa’at pada hari kiamat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
ثُمَّ يَفْتَحُ اللهُ عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِي
“Kemudian
Allah membukakan pujian-pujian dan keindahan sanjungan kepada-Nya
untukku, suatu hal yang belum pernah dibukakan untuk seorang pun
sebelumku.” [2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Tiada seorang pun yang ditimpa oleh gundah gulana tidak pula oleh kesedihan, kemudian membaca,
اللَّهُمَّ
إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ
مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ
هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ
أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ
الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ
صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي
‘Ya
Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, dan anak dari
hamba perempuan-Mu. Ubun-ubun-ku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku
terhadapku. Ketentuan-Mu kepadaku adalah adil. Saya bermohon kepadamu
dengan seluruh nama yang merupakan milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu
dengannya, Engkau ajarkan kepada seorang makhluk-Mu, Engkau turunkan
dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.
Jadikanlah Al-Qur`an sebagai penyejuk hatiku, penerang dadaku, pencerah
kesedihanku, dan penghilang gundah gulanaku,’
kecuali
niscaya Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihannya serta
mengganti hal itu dengan kegembiraan pada tempatnya.” [3]
Seluruh dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa pujian dan sanjungan -termasuk Al-Asma’ Al-Husna-untuk Allah tidaklah terbatas.
Adapun hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya
Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu.
Barangsiapa yang menghitung (nama-nama) tersebut, ia akan dimasukkan ke
dalam surga,”
bukanlah pembatasan bahwa nama-nama Allah hanya berjumlan sembilan puluh sembilan nama, melainkan sekadar pengabaran bahwa siapa saja yang menghitung, menghafal, dan memahami sembilan puluh sembilan nama Allah tersebut dijanjikan pahala berupa surga. Andaikata ada orang yang berkata, “Saya memiliki sembilan puluh sembilan permata,” bukan berarti orang tersebut tidak memiliki permata-permata lain selain sembilan puluh sembilan itu. Demikian pula makna hadits di atas.
Insya Allah, dalam uraian Al-Asma` Al-Husna yang akan datang, akan disebutkan lebih dari sembilan puluh sembilan nama yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa
memberi tambahan ilmu dan amal shalih kepada kita semua serta
menganugerahkan sikap istiqamah di atas ibadah dan pemurnian penghambaan
kepada-Nya. Wallahu Waliyyut Taufiq.
Posting Komentar